selamat datang di csevenr_juztmine..... abadikan kisah dalam tarian pena menggores lembaran... mengukir diri dalam pahaman tuk temukan manusia diantara kita

Rabu, 16 Juni 2010

geovani dos santos mencari cahaya


pada suatu malam, jejak iringan bintang mendampingi rembulan tertutup tebalnya awan yang berlapis. hingga tak sedikit pun jejak cahya tapaknya menyapu cemara yang termangun dalam buaian angin pengunungan ketika gerimis menyempurnakan irama orkes binatang malam. Nyanyian pemujaan binatang malam pada hakekat cahaya tersembunyi ditiup angin hingga menggetarkan selaput pendengarn dos santos yang terlelap disamping istri tercinta di bawah atap sebuah gubuk sederhana diantara jejeran gubuk yang tertata rapi mengikuti kontur lereng pegunungan alpen.
irama musiknya menuntun kesadaran dos santos kembali dari buaian taman mimpi ke raga duniawinya. perlahan kesadarannya kembali mengambil alih seluruh gerak badannya, walaupun kesadarannya belum kembali sepenuhnya, ia mencoba membuka matanya tuk lebih berinteraksi dengan dunia tempatnya berpijak. ia perlahan mengangkat tubuhnya tuk meninggalkan pembaringan dan sedapat mungkin tak ada suara yang dapat mengusik suasana yang cukup tenang malam itu agar istrinya yang menari di taman mimpi tak terusik atas ulahnya. Sejenak ia duduk di pojok tikar yang jadi alas pembaringannya, hanya tuk sekedar menanti kesadarannya kembali seluruhnya.
Ia menatap segala penjuru ruangan itu, namun tak ada yang dilihatnya kecuali pekatnya malam. Pintu, dinding dan atap gubuknya bahkan istrinya ia tak mampu bedakan, hanya gelap yang ia pahami. Kemudian ia mengusap rambutnya yang ikal sebahu kebelakang dan merabah kantong celananya. Ia mengeluarkan korek kayu dari sakunya dan sekali gesekan, percikannya menghasilkan cahaya  redup, namun redup cahaya itu membuatnya mengetahui arah letak lentera di sudut gubuk itu. Ia berjalan kearah lentera itu, dan memeindahkan nyala api padanya, hingga cahaya semakin terang menerangi gubuknya, namun masih tak mampu menghapus pekatnya malam. Ia berdiri disamping lentera itu agak sedikit berjarak dan menatap ke lentera sudut rumahnya yang memberinya penerangan hingga dari matanya yang menawan ia mampu mengenali lebih dunia ini.
Dalam diamnya, akal dan khayalnya berlari berkejaran melompat kesana kemari. Hingga lompatannya menapaki kesadaran betapa butuhnya ia kan cahaya untuk memahami dan bertindak yang benar, tapi ia juga sadar bahwa cahaya lentera itu tak mampu sepenuhnya melarutkan seluruh pekat malam. Namun di sisi lain jiwanya menyakini bahwa pasti ada sumber cahaya yang mampu melarutkan pekat ini hingga gelap malam mampu terhapus terang,  walaupun ia tak tahu dari mana sumber keyakinannya. Sejalan kemudian dalam ladang jiwanya tumbuh benih rasa ingin tahu yang tumbuh n mengakar begitu cepat hingga memaksa kesadarannya tuk menggerkkan keseluruhan dirinya tuk mencari sumber cahaya yang sebenarnya.
Ia pun menggunakan keahlian tekniksnya tuk mmbuat rangka lentera di ruangan itu tuk digunakannnya menapaki belantara di lereng pegunungan  tuk menemukan sumber cahaya. Sesaat setelah bangunan lentera itu yang kan membuatnya tetap menyala di luar walau diterpa angin. Ia kemudian bergegas meninggalkan gubuknya dengan bertelanjang kaki dan lentera di tangan kirinya dan tongkat di tangan kanannya, serta sebilah belati bergelantungan di samping pinggulnya.

Udara semakin menusuk hingga ke tulang iganya saat pintu gubuknya ia buka. Santos menengadah ke atas, ia hanya menemukan pekatnya malam yang menyembunyikan bulan dan bintang dibaliknya, hanya butiran gerimis yang berjatuhan menyentuh wajahnya dan membasahi kulitnya yang hitam manis.
Belum lagi ia mulai mengayungkan kakinya dari balik pintu rumahnya, sebuah pertanyaan menghinggapinya. Apakah ia akan mencari sumber  cahaya itu di lembah jauh di bawah kaki gunung, ataukah ia harus mencarinya di puncak pegunungan? "ah... sumber cahaya yang mampu menerangi segalanya pasti lah berada jauh diatas segalanya. Artinya aku harus ke puncak gunung ini." Langkah kaki kanannya menegaskan niatnya tuk melakukan perjalanan pencariannya. Belantara pun ia lewati. Tongkat dan belatinya sangat membantunya dalam perjalanan namun sungguh keduanya itu hampir tak berarti ketika lentera di tanggan kanannya tidak turut dalam perjalanan itu. ketika langkahnya telah membuatnya lumanyan jauh dari gubuk terakhir di desanya, tiba-tiba seeokor ular menyerangnya, dan lenteranya terjatuh. Hampir saja iya mengakhiri perjalannya di tempat itu jikalau saja ular itu lebih dahulu menulaarkan bisanya pada santos ketimbang tanggannya kembali meraih lentera, dan membuatnya mampu melihat posisi ular berbisa itu dan menyusun rencana matang tuk memenangkan pertarungannya dengan ular itu di bawah hukum rimba yang berlaku pada tempat itu.
Habis bergulat dengan seekor ular berbisa yang merasa terusik kenyamanannya akibat perjalan santos yang berakhir dengan ceceran darah di dedaunan dari ular yang telah tebagi jadi dua bagian, santos pun melanjutkan perjalanannya menelusuri belantara kian semakin menjauh dari permukaan laut. dan ia sampai pada suatu daerah dimana hutan yang lebat kian menipis dan akhirnya sampai pada daerah yang lebih mirip dengan taman bunga, betapa mempesonanya dan damainya tempat itu. melihat keindahannya, ingatan santos bermuara pada mariam, wanita terindah yang pernah dikenalnya dan beberapa tahun ini bersedia menemani kemanapun langkah santos yang dimulai ketika keduanya mengikat hubungan mereka dengan tali suci pernikahan. Niatnya tuk memetik satu tangkai bunga di tempat itu tuk dihadiahkannya kepada istri tercintanya, namun tumpukan ingatannya menahannya tuk memetiknya. Ia teringat suatu ketika ketika ia pergi berburu di hutan dan memetik bunga, dan ketika ia telah mendapatkan kijang, bergesalah santos pulang menemui mariam tuk memberikan hasil buruannya dan spesial setangkai bunga tuk istri tercinta. Berharap istrinya tersipu ketika meraih bunga itu, tapi yang terjadi mariam tak menampakkan raut wajah yang diharapkan santos. Dan dengan tenang mariam berkata pada santos "Bunga ini begitu menawan dan harumnya melarutkan darah ku hingga keubun-ubunku sayang, tapi tak seharusnya kau menjauhkannya dari tempat asalnya hanya tuk melihat senyumku, karena tanpa bunga pun aku kan tetap tersenyum kepadamu dengan tulus, tapi bunga ini kan segera layu ketika waktu kian berlalu dan ia takkan menyejukkan mata siapapun lagi. Lain kali ketika kau menemukan tempat dimana bunga tumbuh dengan indahnya jangan kau pisahkan ia dari akarnya, karena ia tumbuh jauh di dalam belantara sana, agar siapapun yang menemukannya harus melalui jalan yang tak mudah. Dan jika kau ingin menunjukkannya padaku, cukuplah aku yang kau bawah ketempat asalnya." Sambil tersenyum manja pada santos.
Ingatan itu membuat santos tak jadi memetik setangkai pun dari taman bunga itu. dan dikedalaman hati kecilnya ia berjanji suatu hari kan membawa mariam ke tempat ini. Santos kemudian kembali melangkahkan kakinya tuk mencari sumber cahaya yang diyakininya, karena taman itu hanya jalan yang harus dia lalui, tapi bukan tujuan perjalanannya. Tak jauh menanjak dari taman itu, kaki santos telah berpijak pada tanah di puncak gunung itu. Di atas pijakan kakinya pandangannya mampu menjangkau sampai kelembah, tapi ia tak menemukan sumber cahaya yang dicarinya. Lelah menelusuri tiap sudut pegunungan itu, ia kembali ke puncak dan membaringkan raganya disana.
Waktu berlalu dan fajar pun menyingsing, perlahan hitamnya langit terhapus cahaya, sebuah mata pun menatap santos dari horison di ufuk timur. Santos tersadar dan ia harus bergegas segera kembali ke gubuknya, agar istrinya tak risau ketika terjaga dan menyadari santos tak ada disampingnya. Langkahnya ia percepat menuruni lereng yang kan membawanya ke desa.
Mentari cukup tinggi ketika ia samapi di desa yang artinya istrinya pasti telah terjaga. Dan itu benar, nampak di mata santos asap telah keluar dari cerobong atap rumahnya. "mariam pasti sedang memasak" katanya dalam hati.
Di dapur rumah itu, mariam telah memasak makanan kesukaan santos. Dalam hati mariam ada kegundahan ketika mendapatkan suaminya tak berada di dekatnya saat ia terjaga, namun ia yakin suaminya pasti pergi karena alasan yang bisa ia terimah. Ia hanya berharap semoga santos kembali dengan selamat.
Ketika ia sibuk dengan masakannya, ia mendengar suara yang sangat akrab ditelinganya memberi salam. suara itu memberinya ketentraman dan dalam hati ia bersyukur pada sang pencipta harapannya dipenuhi olehNYa sambil berlari kecil untuk membuka pintu rumahnya.  Setelah telinganya mendengarkan suara yang menyejukkan batinya, kini saat pintu itu tak lagi menghalangi pandangan mariam tuk melihat sosok santos, giliran matanya yang memandang sosok yang paling dekat dalam hidupnya itu membawa lebih ketentraman yang dirasakannya tadi. Namun mariam heran melihat lentera yang masih menyala di tangan kiri dos santos.   
"engkau dari mana giovani?" tanya mariam pada dos santos. Oh iya nama lengkap santos adalah giovani dos santos dan entah mengapa mariam lebih suka memanggilnya giovani.
Santos pun menceritakan apa yang dialaminya pada istrinya. Mendengar semua penjelasan santos, mariam berlari kekamarnya meninggalkan santos yang masih berdiri di depan pintu dan meninggalkan keheranan pada santos yang tadi asik menceritakan kisahnya dan setelah kisah itu selesai istrinya tak meresponnya sama sekali malah ia berlari ke kamar.
Di dalam kamar mariam membongkar tumpukan pakaiannya dan menggambil selembar kerudung putih pada tumpukan pakaiaan itu dan mengenakannya.  Dan kemudian kembali menemui suaminya yang masih didepan pintu dengan lentera dan tongkat ditangannya. Ia meraih tongkat ditangan kanan santos dan menyandarkannya di dinding, kemudian memggenggam tangan itu sambil berjalan ke halaman rumahnya. Keheranan santos makin menjadi melihat tingkah istrinya, tapi ia tetap diam dan mengikuti isyarat mariam.
 Mariam berhenti ditengah halaman rumahnya dan menatap santos.

"Ketika gelap engkau membutuhkan lentera ini tuk berjalan mencari sumber cahaya sayang.
Walau engkau tak menemukannya? tapi lentera ini membantumu tuk terus berjalan hingga fajar menyingsing.Dan mentaripun segera muncul.
Kau menemukan cahaya mentari lebih terang dari lentera, maka saat kau dinaungan cahaya mentari ini, kau tak lagi membutuhkan lentera mu sayang.
Ketika mentari terbit, adalah saatmu melepaskan lenteramu dan terus berjalan.
Sekarang tatap lah mentari yang melampau terang lenteramu sayang!" kata mariam kepada suaminya. dan santos pun menatap mentari.
"saat engkau menatap mentari, kau tak dapat pahami dia hanya silau dan segera kau palingkan wajahmu dari menatapnya, itu karena kau ada bukan tuk memahami bagaimana ia sebagaimana ia, karena engkau takkan mampu. Di bawah naungan cahayanya  semua yang ada kan menjadi bukti adanya, dan setelah itu kita harus melepaskan lentera kita  dan berjalan mengukir  langkah ini hingga jarak kian mendekat dalam keintiman.” Tambah mariam ketika melihat santos memalingkan wajahnya ketika melihat mentari.
Santos menatap istrinya. Dalam hatinya ia begitu bersyukur ada seorang yang ingin menemaninya berjalan di dalam kehidupan ini dan mengetahui arah perjalan ini. Dan kemudian santos tersenyum dan berkata pada mariam “ku telah mendaki gunung pada gelap malam dengan lentera tapi tak ku temukan sumber cahaya yang mampu hapus gelap dan ketika mentari menghampiri dan menghilangkan gelap itu namun tak mampu ku pandangi. Dan akhirnya ku berdiri disini, ku temukan bias sinar cahaya hakikat itu jauh lebih terang dari apapun, dari seorang wanita yang berdiri didepanku. Tuk bersama menapak perjalanan ini ”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar