selamat datang di csevenr_juztmine..... abadikan kisah dalam tarian pena menggores lembaran... mengukir diri dalam pahaman tuk temukan manusia diantara kita

Senin, 31 Mei 2010

HATI DEWIMU DILACIKU


Kegelapan seketika tak bereksistensi ketika cahaya hadir padanya. Namun jangan kira kegelapan pergi menjauh saat cahaya memancar, tapi kegelapan sadar akan keDiriannya adalah cahaya pula. Maka saat kehadiran cahaya yang lebih tinggi gradasinya, ia melebur padanya. Ini adalah fitrah dan Ego sebesar apa pun tak mampu tuk menghentikannya.
Berawal dari terpancarnya sebuah cahaya dari gundukan tanah yang kotor yang menyilaukan mata Sang dewi pesona yang bersanding dengan dewa pujaan di Nirwana. Perhatiannya pun teralihkan pada tempat pancuran cahaya itu walau tempat keluar cahaya itu hanyalah sebuah gundukan tanah berlumpur yang kotor dan bau.
Mulanya hanya mata kemudian merambah keseluruh jaringan saraf yang berada dibalik struktur tengkoraknya yang begitu mempesona, hingga lewat dari itu sehingga ia sendiri tidak mengerti lagi akan semuanya namun di lain sisi ia yakin keberadaanya mampu ia rasakan…Lalu nafasnya tak lagi mampu ia atur ketika seluruh aliran darahnya dipenuhi nya, hatinya bergetar hebat saat energy pada dirinya tak mampu lagi menahan sesuatu yang tak mampu ia pahami itu.
Saat mata hanya mampu melihat wajah yang sama di setiap sudut
saat akal tak mampu memikirkan yang lain
saat hati menyingkirkan semua untuk ………….
Saat semua semakin tak terpahami
Sebilah belati emas persembahan tuk Sang Dewa para dewa menggores kelingking kanan dewi pesona yang mengikuti gerak tangan kiri Sang dewi yang menggenggam belati itu. Dara biru kebangsawanan DEWA pun mengalir dari bekas goresan itu kemudian mengabadi bersama waktu diatas kain sutra putih pada altar pemujaan…. Goresan itu terangkai dalam kata…kalimat… yang kaN menyampaikan Hasrat Kuat yang tak mampu lagi dipendam dalam hati sang dewi tuk seorang diri.
“ Jangan tanya padaku apa yang tlah terjadi karena aku sendiri tak tau aku bingung pada diriku sendiri, dia, dan juga kau. Bagiku saat ini kuberada diatas panggung sandiwara yang sebentar lagi akan runtuh. Siapa yang salah? Apakah fitrah itu yang salah karena membuat semuanya seperti ini? TIDAK!!! Cinta tak pernah salah karena itu adalah fitrah yang amat SUCI yang di berikan Tuhan.
Tolong aku keluarkan ku daRi sini dengan sebuah kunci kejujuran karena cinta sejati adalah kejujuran yang berharga walaupun kadang cinta itu tak haRus memiliki. Oh Yach kini aku tau yang salah bukan kau, aku, dia dan cinta tapi yg salah adalah waktu”


Setelah itu, Bersama berlalunya hembusan angin pagi, anggur dalam cawan emas ia letakkan disamping kain sutra itu yang ia selipkan dalam sebuah mushaf tu dimana terukir puja-puji cinta pada dewata… seiring memerahnya wajah langit diufuk timur ia pun beranjak dari tempat persilahannya dan seiring menghilangnya embun yang bening iapun beranjak meninggalkan kuil pemujaan dengan suatu harapan akan jawaban yang ada pada suatu tempat, yang jelas bukan pada dirinya.
Ia kenakan selendang sutranya dan kepakan sayap lembutnya membawahnya kembali ke dunia atas dimana seharusnya para dewa-dewi bersenandung ria dalam segala keberkecukupan. Sebelum dewa-dewi lainnya terjaga dan memergokinya yang telah melanggar aturan khayangan karena telah turun ke dunia bawah.
Mentari berlahan mengendap menatap belahan bumi dimana pondasi kuil pemujaan itu terbenam, berlahan ia hapus rona merah pada pipi langit yang tersipu malu menatap mentari yang menghampirinya tuk melepas kerinduannya semalaman walau mentari ketika berlalu tetap mengirimkan hikayatnya dengan rembulan.
Beberapa saat sebelum mentari beranjak meninggi, dan memberi kehagatan pada setiap lekukan bumi, di dunia bawah di tempat kuil pemujaan, seorang pemuda tampak melangkah tergesa – gesa menuju arah kuil pemujaan. Kepalanya yang tanpa sehelai rambut pun nampak tertunduk memperhatikan betul langkah kakinya yang tak menggunakan alas kaki, jangan sampai langkahnya melukai seekor binatang atau membunuh tunas yang menegadah ke arah sumber cahya mentari ketika berjalan di tengah padang ilalang yang memisahkan gubuknya dari kuil pemujaan. Ia tampak bersahaja dengan balutan kain berwarna kuning yang nampak serasi dengan warna kulitnya yang sawo matang dan bersih.
Langkahnya melambat ketika mendekati gerbang kuil pemujaan, sesaat ia betulkan nafasnya kemudian dengan khidmat beranjak memasuki kuil pemujaan. Ia dengan cekatan membersihkan kuil seperti hari – hari sebelumnya yang ia lakukan sebelum penduduk desa melakukan pemujaan di kuil tersebut. Hingga pada saat altar pemujaan ia rapikan, matanya menatap cawan emas yang berisi anggur surgawi di dekat mushaf yang di dalamnya terselip kain sutra putih, membuat konsentrasinya untuk membersihkan teralih oleh rasa penasaran yang mulai berakar pada jiwanya. Namun rasionya menyarankan untuk menunaikan tugasnya lebih terdahulu dan ia pun mengikuti saran dari rasionya itu.
Saat seluruh isi kuil itu telah dirapikannya, dan waktunya tuk beristirahat sebelum penduduk ramai mendatangi kuil tuk melakukan pemujaan yang artinya ia harus melayani para penduduk yang ingin melakukan pemujaan, kalau – kalau mereka membutuhkan sesuatu. Ia pun bersilah dan mulai membuka dirinya tuk menyatu dengan alam raya sejenak. Namun sebelum kesadarannya menyatu dengan alam semesta ia berniat membaca beberapa syair pemujaan dan ia beranjak mengambil mushaf dekat cawan emas tadi yang berisi anggur surgawi.
Ia tidak tahu pasti bagaimana bisa anggur surgawi itu memenuhi cawan emas pada altar pemujaan, namun keimanannya teguh, itu lah berkah dari para dewa – dewi atas bakti dan kepatuhan penduduk desa yang memuja mereka. Kemudian ia meraih mushaf itu dan membuka lembaran – lembarannya, dan ia pun mendapatkan kain sutra putih yang di tinggalkan dewi semalam. Dan dia memahami rasa macam apa yang telah menggerakan ukiran dara biru di atas kain sutra itu, namun rasa itu memuncak melebihi rasa memahami berganti menjadi merasa dirinya yang terluka setelah kata terakhir dari rangkaian kalimat itu dia menemukan kata “mavi”.
“mavi” sebuah kata yang tak asing bagi dirinya dan mungkin sejak ia mulai memahami ketika orang lain berkomunikasi dengannya ia telah akrab dengan kata itu. “mavi” kata yang selalu digunakan orang lain untuk menyapa dirinya. Lengkapnya mavi marmara, sebuah nama yang diberikan oleh ibunya yang telah ikhlas menjaganya dalam rahim hingga ia sekarang berdiri tegak di bawah mentari menghirup segarnya udara dunia bawah. Nama itu diberikan ibunya sendiri tanpa meminta kesepakatan ayahnya, karena ayah mavi telah meninggalkan dunia ini sebelum seorang pun mengetahui bahwa benihnya telah menjadi janin dalam rahim zainab (ibu mavi). Namanya diberikan ibunya tidak lebih dari sebuah harapan bunda terhadap anaknya agar ia seperti kapal mavi marmara, sebuah kapal yang legendaris dalam mitologi, kapal yang karam di dinginnya lautan cyprus di tepi perkampungan yang dikuasai oleh para binatang yang menjelma monster yang dikenal dengan nama gaxaret. Dimana di dunia bawah terjadi kerisis kemanusian, dimana monster ingin menguasai dunia bawah, terjadi pertarungan berabad – abad antara manusia dan monster di daerah itu, dan para dewa di khayangan tersentuh dengan jeritan manusia di setiap sudut perkampungan itu yang meminta bantuan mereka. Dan pada saat para dewa memutuskan untuk bergerak memberi bantuan kemanusian terhadap manusia di daerah gaxaret tersebut, para dewa memberikan sebuah kapal yang bernama mavi marmara, dan mengutus para biksu untuk menggunakannya untuk memberi bantuan kemanusiaan. Para dewa tidak turun langsung karena aturan khayangan tidak membiarkan dewa untuk mencampuri urusan dunia bawah secara langsung, karena itu kan mengcemari pilihan bebas yang telah di berikan SANG MAHA YANG pada dunia bawah. Namun ketika ia mendekati gaxaret kapal itu di serang oleh para monster tersebut. Zainab hanya mengginginkan anaknya adalah sebuah bahtera yang bisa membawakan bantuan untuk siapapun menuju ke nirwana, seperti kapal mavi marmara telah mengantarkan bantuan untuk kemanusian.
“mavi” sekali lagi ia mengucapkan kata itu, seolah tak percaya bahwa tulisan itu di tujukan untuknya. Namun dirinya tidak mampu mengelak bahwa mavi dalam tulisa itu bukan dirinya karena di kampung itu hanya dirinya yang bernama mavi. Dari keheranannya itu, munyusul pertanyaan – pertanyaan.
Kenapa diri ku?
Siapa gerangan pemilik darah biru yang terukir di sutra ini?
Kenapa bisa diri ku yang menyebabkan seorang merasa hal sepedih ini?
Perih tersayat ketika kau terluka tapi lebih perih ketika kau tersadar engkaulah sebab seseorang terluka. Gumamnya dalam hati.
Ia menutup lembaran mushaf dan meletakkan di rak mushaf – mushaf dekat altar pemujaan dimana jendela di dinding timur kuil yang membiarkan sinar mentari menerangi daerah sekitar rak – rak itu. Dan menggenggam erat kain sutra putih itu. Perlahan ia membuka lembaran – lembaran ingatanya untuk mendapatkan sesuatu yang bisa mengantarkannya menemukan jawaban dari pertanyaannya.
Mavi belum sempat menemukan jawaban tuk pertanyaan sendiri, atau sesuatu yang bisa mendekatkannya tuk pertanyaan. Derap langkah yang ramai membuyarkan pikirannya yang terdengar dari arah laur kuil, menyusul riuh suara canda tawa para anak kecil yang mengiringi orang tua mereka. Tak lama berselang ruag pemujaan dalam kuil tersebut di dipenuhi penduduk dengan pakain paling bagus dari tiap individunya. Nyayian pujian pun di mulai dan ritual di gelar. Mavi pun harus menyimpan tanyanya di tepi akal bagian penasaran dan ingin tahunya, dan pasti kain sutra putih itu dilipat rapi dan di selipkan dalam laci miliknya pada ruangan rak – rak mushaf itu.
Bumi terus berputar karena kegilaannya kan mentari namun tak mampu mencapainya, kegilaan kerinduan bumi itu yang menariknya tak menjauh dari mentari namun tak mampu juga melebur bersama mentari, tampak jelas dimata para penduduk dunia bawah dan mentaripun semakin condong kearah barat hingga ia kembali ke peraduan, nyayian mantra dan pemujaan tak lagi terdengar menggema di sudut kuil. Cahya mentari pun berganti tatapan lembut rembulan, dan redup lilin di beberapa tempat mencoba mengusik gelap yang merangkul malam.
Mavi belum juga beranjakan meninggalkan kuil walau tak nampak lagi batang hidung seorang pun selain dia. Kesunyian malam yang menemaninya membawanya kembali ke tepian akal, tempatnya meletakkan setumpuk pertanyaannya tadi pagi. Setiap lembaran – lembaran ingatannya ia bongkar berkali – kali tapi ia tetap tak menemukan apa gerangan yang telah ia lakukan hingga hingga membuat seseorang terluka, kebohongan apa yang telah ia lakukan hingga seseorang sangat mengharapkan sesuatu yang jujur dari dirinya. Sandiwara apa yang telah ia lakoni hingga ia tak sadar panggung tempatnya pentas hampir runtuh. Hingga seseorang telah terperangkap pada panggung yang hampir runtuh itu akibat lakonnya.
Untuk kesekian kalinya tak ada jawaban dalam tumpukan ingatannya, dan jejak kearah sana pun ia tak temukan. Ia menatap ke arah rembulan malam ke 17 yang mulai purnama. Namun rembulan bergegas kebalik awan, seakan rembulan sedang malu menampakan dirinya, dan aroma wangi yang tak pernah ia menyentuh indra pembauannya membuatnya terbuai hingga matanya terpejam karna bukan tugasnya mata untuk memahami wnagi.
Ia kembali membuka matanya, wangi tersebut tak juga beranjak, dan retina matanya menangkap sosok dewi khayangan berdiri tak lebih dari dua meter darinya. Mereka saling menatap, mencoba mencari diri mereka masing – masing dalam mata yang lainnya.
Apalah arti altar perjamuan dengan segala nyayian puja – puji nya, apalah arti kata dan bahasa ketika rasa saling terjalin dalam pemahaman. Mavi pun mendapatkan jawaban dari tanyanya dari sosok yang berdiri terpaku di depannya. Rasa tu pun menjangkit dan dengan cepat menjalar seluruh eksistensinya.
“Aku tak mengerti kenap rasa tu hadir tapi bahwa rasa itu adalah aku sebuah keniscayaan. Aku tak perluh melukisnya dalam rangkaian kata, karena kata kan habis dan hikayat ku belum usai, namun kutau pasti, kau telah memahaminya dengan pasti. Dan mata mu mengatakan bahwa kau pun mengalami hal yang sama. Ku kemari tuk mendegarnyamu berkata iya” tuturnya diselah nyanyian binatang malam.
“engkau benar bahwa ku merasakan hal yang sama, tp kalau kau berharap mendengarkan kata itu, maka kau salah dewi.” Timpal mavi
“kenapa? ? ? ....Tidakkah kebenaran rasa itu telanjang di hadap mu dan kau berpaling menghindar darinya kemudian berlari menjauh.” Nadanya meningga walau tetap lembut menggetarkan gendang telingga mavi.
“Kenapa! Tanya mu....
Aku memiliki rasa tu adalah benar, tapi menuruti rasa tu adalah kesalahan.
Akan kah kau biarkan kita berdua menghianati seluruh tatan semesta yang telah rapi ini.
Engkau tercipta tuk dewa di khayangan bukan tuk seorang anak manusia di dunia bawah ini.” Jelas mavi pada dewi.
“ menuruti rasa ini akan membuatku menghianati seluruh tatanan semesta, tapi tidak menuruti rasa ini akan membuatku menghianati diriku. Dan SANG MAHA YANG telah memberkan dewa – dewi dan manusia pilihan bebas pada mereka tuk menentukan langkahnya. Dan aku akan memilih menghianati siapapun dan apapun ketimbang menghianati diriku sendiri, dan ku berharap kaupun tak menghianati dirimu.” Kata dewi memberikan perbandingan wacana.
“kala kuusir segala keramaian diluar diriku dan kesunyian segera menghampiri, dalam diamku terdengar keramaian dalam diri yang satu ini, kadang mereka saling membodohi, dan kadang mereka saling bergulat untuk memperjuangkan keinginan mereka, dan aku sampai pada pertanyaan yang manakah diriku yang sebenarnya.
Rasa itu adalah satu teriakan dalam diriku yang mengerang tuk dipenuhi, tapi rasa tu bukan lah diriku ataupun dirimu dewi, tapi diri kita yang sebenarnya adalah yang memutuskan dari ribuan pertengkaran mereka, bukan satu diantara mereka.
Menolak rasa itu bukanlah menghianati diri kita dewi.
Rasa itu suci dan bersih tapi jalan yang kita jalani berlumut dan berlumpur maka ketika kita membawanya pada jalan ini maka kesuciannya kan ternodai dewi.” Jelas mavi pada dewi yang mulai terdiam mengcoba memahami kata mavi.
“Dewa – dewi dan manusia tak lah sama dengan binatang yang kan menuruti segala rasa yang bertunas dalam dirinya.
Sutra putih mu ada di laciku dewi, laci tu tak terkunci.
Kapanpun engkau ingin mengambilnya kembali, pasti kau dengan mudah bisa memilikinya kembali.” Lanjut mavi.
“Rangkaian pada sutra itu adalah hatiku yang mewujud dalam kata.
Kumemahami maksudmu dalam untaian katamu mavi.
Pilihanmulah yang tak ingin menuruti rasa yang suci itu.
Tapi akulah yang berhak memilih dimana kuletakkan hati,
dan ku ingin ia tetap dalam lacimu.” Jawab dewi.
“Dan tak ada lagi alasan yang mengharuskan kita tetap berdiam disini mavi, maka beranjaklah ke pembaringanmu, karena malampun semakin larut dan aku khawatir jagan sampai tunangan dan calon mertuamu berpikir yang tidak – tidak ketika mengetahuimu tak dirumah mu sampai malam begini.” Dewi mencoba mengakhiri petemuan itu.
“beranjaklah duluan dewi, aku kan bergegas setelah engkau meninggalkan tempat ini”. Balas mavi.
“Tidak... engkaulah yang beranjak duluan, biarkan aku melihat punggungmu saat kau beranjak menjauh dari ku.” Kata dewi sambil tersenyum manis tanpa dibuat – buat.
mavi beranjang ke pembaringannya di bawah siraman sinar rembulan, dan ketika bayangan mavi meninggalkan ujung pandangan mata dewi, dewi mengepakkan sayapnya menuju dunia atas

Dan itu lah saat terakhir mereka bertemu, walau samapi sekarang sutra itu masih di laci dalam kuil pemujaaan itu.
Himpunan
160107 23:11
Edit gazebo himpunan
310510 22:59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar